Kekuatan influencer dalam pemasaran digital, dari fesyen hingga politik - Bagian 1

Read in English

WhatsApp Image 2020-11-09 at 20.46.33.jpeg

Baca bagian 2 - Keberlangsungan budaya influencer

Di tengah kebangkitan teknologi, influencer menjadi kekuatan dalam strategi pemasaran digital. Perusahaan seringkali menggunakan influencer untuk memasarkan produk dan/atau jasa mereka; bukan hanya untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, pakaian, dan rumah, tapi juga kebutuhan sekunder dan tersier. 

Contohnya, banyak pengembang memanfaatkan jasa influencer untuk mempromosikan unit apartemen mereka, seperti LRT City Jatibening (@lrtcityjatibening) yang menggandeng Putri Marino dan Chicco Jerikho. Popularitas bebatuan kristal sedang naik daun sebagai barang koleksi karena banyak influencer yang mempromosikannya, seperti Nazla Alifa (@nazlaalifa) yang seringkali terlihat mempromosikan produk-produk Canggu Crystal Bali (@canggucrystals).

Nyatanya, setiap merek ponsel pintar diharapkan menggunakan influencer sebagai duta merek mereka. Asus, contohnya, menggandeng satu tim influencer untuk kampanye terbarunya.

Tidak hanya produk berwujud dan jasa, berbagai acara juga menggunakan influencer sebagai salah satu media publikasi mereka. Influencer dan sensasi internet Bude Sumiyati hadir dalan Synchronize Festival 2019 untuk mendukung acara tersebut. Kehadirannya ternyata menjadi daya tarik besar di festival musik itu; banyak situs hiburan yang menulis tentang hal ini, dan para pengunjung mengantre untuk berfoto bersamanya.

Kekuatan apa yang dimiliki influencer sehingga mereka bisa memengaruhi pengambilan keputusan pengikut mereka, yang membuat influencer menjadi aset berharga dalam hal pemasaran? Untuk memahaminya, kita bisa merujuk pada Field Theory Bourdieu. Ada tiga komponen utama dalam teori ini: modal sosial, bidang, dan agensi.

Modal diperoleh melalui akumulasi tenaga kerja manusia di bidangnya masing-masing. Karya-karya Bourdieu kebanyakan melihat bidang sebagai karir: arena untuk berkompetisi, untuk meraih hasil dari pekerjaan mereka. Mereka yang memiliki modal sosial bisa menjadi agen: individu yang memiliki agenda pribadi yang bermanfaat bagi masyarakat atau diri mereka sendiri (Tapp & Warren, 2010).

Dengan kata lain, modal sosial bertindak sebagai kekuatan yang mendorong seseorang sebagai agen untuk mewujudkan agenda mereka.

Untuk bisa menjadi influencer, dan dengan demikian seorang agen, seorang individu harus berkompetisi di bidangnya untuk berkarya sebanyak mungkin. Sederhananya, bidang dalam hal ini adalah platform media sosial di mana seseorang bisa mengunggah konten digital sebagai pekerjaannya.

Hasil yang diharapkan adalah interaksi, seperti pengikut, like, komentar, penyebarluasan, dan bookmark oleh pemirsa mereka. Interaksi ini bertindak sebagai daya tawar, yang berarti bahwa pemirsa memberi kekuasaan kepada pembuat konten. Kekuatan tersebut bisa diubah menjadi modal sosial, yang kemudian mendefinisikan seseorang sebagai influencer.

Pengaruh paling mungkin dibangun dalam segmentasi tertentu atau pasar terbatas, yang menurut teori Bourdieu linear terhadap bidang. Sebagai contoh, mereka yang membuat konten digital mengenai kecantikan dan kemudian mendapatkan interaksi ditetapkan sebagai influencer kecantikan.

Contohnya, Gabriella Evans (Gaby). Alasan utama mengapa Gaby fokus pada bidang fesyen adalah karena banyak orang yang memuji selera fesyennya. Dalam wawancara dengan TFR, Gaby berujar, “Saya mencoba terjun ke fesyen karena saya mendapatkan banyak pujian mengenai gaya saya.”

Untuk mempertahankan kualitasnya sebagai influencer fesyen, Gaby hanya menerima tawaran dari merek fesyen yang sesuai dengan gayanya.

Jika seseorang dipercaya untuk membuat konten yang bagus yang bisa membangun dan memelihara hubungan antara pembuat konten dan pemirsa, yang kemudian menghasilkan interaksi, mereka bisa meraih lebih banyak modal sosial dari bidang tersebut.

Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat hubungan yang dimiliki influencer dengan pemirsa mereka, semakin banyak modal sosial yang mereka miliki. Ini karena semakin banyak kekuatan yang mereka miliki atas pemirsa mereka untuk memengaruhi keputusan pembelian jika mereka mengiklankan sebuah merek.

Tingkat interaksi Gabby dengan pemirsanya terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah pengikutnya. Dengan lebih dari 50.000 pengikut, konten promosinya rata-rata bisa mendapatkan 70.000-90.000 interaksi.

Dalam melakukan promosi, influencer menjadi agen yang memiliki agenda: meyakinkan pemirsa untuk membeli produk yang mereka promosikan. Semakin tinggi modal sosial seorang influencer, semakin mudah mereka mewujudkan agenda tersebut.

Teori yang sama bisa diterapkan pada industri lain, mengingat jasa influencer juga digunakan dalam kampanye politik. Pada pilkada DKI Jakarta tahun 2016, Arie Kriting (@arie_kriting) menggunakan platoform media sosial untuk mendukung Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang bersaing dengan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono. Pada pemilihan presiden 2019 di Indonesia, ia juga menggunakan platform media sosialnya untuk mendukung Joko Widodo yang bersaing dengan Prabowo Subianto. 

Dalam unggahan Twitter ini, Arie Kriting menyatakan dukungannya kepada Ahok dengan tagar #KamiAhok, tagar yang mendukung Ahok setelah kontroversi penistaan agamanya.

Bahkan Joe Biden yang baru saja terpilih sebagai presiden Amerika Serikat menggunakan influencer untuk membantunya dan pasangannya, Kamala Harris, untuk meraih lebih banyak suara.

Salah satu kampanye yang dilakukan oleh tim Biden-Harris adalah membuat para influencer melakukan siaran langsung melalui akun Instagram mereka bersama Biden satu per satu, lalu membuka diskusi yang memungkinkan para pengikut influencer tersebut mengajukan pertanyaan mengenai apa pun kepada Biden mengenai pencalonannya.

Teknologi tentu saja mendongkrak kesuksesan jangkauan influencer di tengah pandemi COVID-19, karena situasi ini memaksa semua orang untuk mejaga jarak fisik satu sama lain; sebuah situasi yang tidak ideal untuk kampanye politik.

Terlebih lagi, influencer memiliki pemirsanya sendiri. Hubungan mereka dengan pengikut mereka lebih intim dibandingkan hubungan antara selebriti dan fans, karena hubungan tersebut dibangun dengan interaksi yang terus menerus dan langsung melalui media sosial, dan interaksi tersebut selalu dijaga.

Dengan bantuan teknologi, interaksi tatap muka tidak lagi harus dilakukan secara fisik dan pesannya tetap bisa sampai ke target pemirsa. Influencer mungkin memiliki kekuatan, namun kebangkitan teknologi membantu mereka menggunakan kekuatan tersebut dengan optimal.


Artikel terkait