Keberlangsungan budaya influencer - Bagian 2

Read in English

WhatsApp Image 2020-11-09 at 20.51.48.jpeg

Baca bagian 1 - Kekuatan influencer dalam pemasaran digital, dari fesyen hingga politik

Jauh sebelum internet ada, influencer sudah ada. Platform mereka bukan media sosial, karena media sosial saat itu belum ada. Grin, sebuah perusahaan konsultan, menyatakan bahwa, “Dalam kisah periklanan, dikatakan bahwa Ratu Inggris dan Paus dulu mempromosikan obat-obatan yang bermanfaat untuk rakyat jelata.”

Yang lain mungkin akan mengatakan bahwa Josiah Wedgwood yang membuat dan memberikan seperangkat perlengkapan minum teh kepada Ratu Charlotte dari Inggris pada tahun 1760 adalah salah satu influencer pertama yang ada. Ia bahkan mendapat gelar “Ayah Pemasaran Modern.” 

Saat ini, influencer telah berkembang menjadi sebuah industri. Istilah strategi pemasaran digital sinonim dengan influencer. Pemasaran melalui influencer dilakukan dengan mempromosikan dan menyebutkan nama produk di akun media sosial milik influencer. Metode ini diyakini bekerja dengan sangat baik berkat pesatnya pertumbuhan penggunaan internet dan konsumsi media digital.

Sejak tahun 2012 sampai 2018, penggunaan internet dan konsumsi media digital naik dari 5 jam 37 menit ke 6 jam 45 menit per orang, kebanyakan terjadi pada Gen Z, seiring dengan pergeseran penggunaan gawai dari komputer, laptop, dan tablet ke ponsel pintar.

Periklanan digital bahkan mengambil porsi lebih dari 50% dari total belanja iklan di seluruh dunia pada tahun 2019 (Wielki, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa iklan digital adalah alat yang sangat berguna untuk memasarkan produk dan/atau jasa, dan di sanalah influencer berperan.

Dengan efisiensi ini, tidak heran banyak merek yang menggunakan jasa influencer untuk memasarkan produk mereka.

ASUS, misalnya, baru-baru ini meluncurkan kerja sama dengan Urban Sneaker Society (USS) untuk versi terbaru kampanye Republic of Gamers (ROG). “Influencer dalam kampanye ini adalah pengguna ROG. Strategi ini berpengaruh terhadap kepercayaan pada brand kami dan sangat membantu meningkatkan penjualan. Melalui orang-orang yang tepat dalam kanal yang tepat, kami bisa menyebarkan pesan dengan akurat dan dalam,” ujar seorang perwakilan ASUS. 

Menurut seorang penjual, meski harganya cukup mahal, ia membukukan dua transaksi penjualan laptop ROG setelah pembeli melihat iklannya.

Dengan teknologi, kekuatan yang dimiliki influencer semakin tinggi, karena teknologi membantu mereka untuk mempererat hubungan dengan pemirsa. Mereka sekarang ada di puncak piramida hierarki. Tapi, kita tahu bahwa tidak semua hal baik bertahan selamanya, bahkan bagi influencer. Ini menuntun kita kepada pertanyaan lain: bagaimana cara mereka menjaga relevansi?

Pada rangkaian pertanyaan yang TFR ajukan di media sosial, banyak responden mengatakan bahwa influencer menjadi semakin seperti spanduk iklan online. Banyak juga yang menyatakan bahwa mereka ingin melihat transparansi dari para influencer - mengungkapkan postingan berbayar, contohnya.

Responden lainnya ingin influencer untuk jujur dalam menilai suatu produk dan bertanggung jawab terhadap produk yang mereka promosikan. Di tengah banjirnya konten promosi di media sosial, para pengguna yang melek teknologi maupun konsumen semakin kritis terhadap konten yang dibuat oleh influencer.

Sekadar berpose dengan suatu produk tidak lagi menjadi patokan minimal. Akan lebih efisien jika para influencer yang memasarkan sebuah produk adalah pengguna produk tersebut. Hal ini akan membuat iklan produk mereka lebih valid dan tidak hanya berdasarkan poin-poin kunci pemasaran.

Seorang responden menulis, “Tidak semua orang yang memiliki banyak pengikut bisa dianggap sebagai influencer.

Pernyataan tersebut memang benar adanya. Pada tahun 2013 ketika Instagram masih merupakan platform media sosial baru, 1.000 pengikut adalah jumlah yang besar. Algoritmanya juga tidak serumit sekarang.

Foto: Kategori influencers dari artikel ‘Follower numbers, do they matter?’

Foto: Kategori influencers dari artikel ‘Follower numbers, do they matter?’

Saat ini, hampir semua orang-terutama Gen Z-memiliki satu atau dua akun Instagram - satu untuk publik dan satu lagi, atau yang biasa disebut dengan akun sekunder, biasanya hanya untuk teman-teman dekat. Inilah yang kemudian mendorong pertumbuhan pengguna Instagram. Influencer dengan pengikut lebih dari 50.000 dikategorikan sebagai influencer mikro.

Kemudian masuklah TikTok, media sosial untuk membagikan video. TikTok merajai pasar sebagai wadah bagi pengguna untuk mengekspresikan diri mereka dengan memposting video yang sebagian besar mengenai kehidupan mereka. Dengan 850 juta pengguna saat ini, bisa diprediksi bahwa TikTok akan melanjutkan dominasinya dalam jangka panjang.

Sebelum Instagram Story ada, postingan Instagram kebanyakan adalah foto dengan komposisi sempurna yang menggambarkan sebuah tempat, pakaian, atau gaya hidup. Namun, konten itu tampak tidak organik karena kebanyakan tidak mencerminkan kehidupan nyata.

Relevansi adalah bahan utama dalam pemasaran influencer. Tanpanya, kesan yang muncul hanyalah sikap acuh tak acuh.

Di sisi lain, video menawarkan sudut pandang yang lebih organik. Meski juga bisa diatur, video yang menunjukkan lebih banyak spontanitas dan aktivitas harian lainnya menjadi makin populer karena lebih dinamis dibandingkan foto dalam feed.

Influencer juga manusia seperti para pemirsanya. Oleh sebab itu, promosi produk mereka menjadi sesuatu yang dapat diandalkan dan diinternalisasi oleh pemirsa, yang kemudian bisa diubah menjadi kesadaran dan pembelian. Inilah mengapa TikTok dan Instagram Story sekarang lebih banyak digunakan dibandingkan dengan fitur post-to-feed.

Setelah menganalisa berbagai tanggapan yang TFR terima dan perkembangan media sosial, ditemukan bahwa ada permintaan yang semakin kuat terhadap konten organik dari influencer yang bisa diandalkan. Pemirsa menginginkan sesuatu yang lebih manusiawi dan lebih organik. Konten promosi memang tidak bisa sepenuhnya organik, tapi pemirsa ingin apa yang mereka lihat setidaknya tampak seperti itu. 

Keberlangsungan influencer media sosial tergantung pada tiap influencer dan perkembangan teknologi. Budaya influencer, di sisi lain, akan selalu ada karena sifat yang paling manusiawi dari makhluk sosial adalah untuk menemukan tempat di masyarakat, dan manusia akan melakukan apa pun untuk mencapainya, termasuk mendengarkan dan mengagumi influencer.

Bahkan sebelum teknologi ada, influencer - baik selebriti, model, editor fesyen, pemimpin negara atau tokoh agama - sudah menyebarkan pengaruh mereka serta membuat tren. Akan selalu ada seseorang untuk dikagumi dan didengarkan.

Seperti yang pernah dikatakan Methrani kepada TFR, semua orang bisa menjadi influencer. “Kita semua adalah influencer karena kita suka bertukar informasi satu sama lain. Karena kalian, sebagai seorang manusia, adalah media yang bisa memengaruhi orang lain,” tuturnya.

Baca bagian 1 - Kekuatan influencer dalam pemasaran digital, dari fesyen hingga politik


Artikel terkait