Berdengung atau berpengaruh?

WhatsApp Image 2021-01-19 at 18.33.53.jpeg

Ketika menelusuri beranda media sosial, kita seringkali menemukan kata “buzzer” dan “influencer.” Meskipun keduanya kerap digunakan dalam konteks yang serupa, kita jadi bertanya-tanya apakah kedua kata ini memiliki arti yang sama atau pada dasarnya berbeda.

Saat protes terhadap UU Cipta Kerja marak pada tahun 2020, Kantor Staf Presiden menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan jasa buzzer, melainkan hanya influencer media sosial, untuk mendukung UU tersebut. Pernyataan ini menandakan bahwa keduanya tidak sama. Lantas, di mana perbedaannya?

Influencer media sosial adalah individu yang bisa memengaruhi pengikut mereka di media sosial berdasarkan hubungan yang mereka bangun dengan pengikutnya. Hubungan ini membutuhkan sosok pribadi yang nyata, mengingat influencer melabeli dirinya sebagai panutan bagi para pengikutnya untuk mendapatkan kekuasaan dan kepercayaan dari mereka.

Di sisi lain, buzzer biasanya bergerak secara anonim dan terorganisir oleh agen. Mereka disebut buzzer karena mendengungkan (buzz) isu tertentu secara bersamaan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Dapat dikatakan bawa buzzer hanya muncul ketika ada isu untuk didengungkan.

Influencer memiliki citra yang lebih netral, sedangkan buzzer seringkali dihubungkan dengan hal-hal negatif, seperti berita bohong, manipulasi, dan akun palsu.

Buzzer hadir karena adanya mekanisme pasar: di mana ada permintaan, di situ ada penawaran. Media sosial terbukti menjadi alat penting dalam pemasaran dan pembentukan citra karena di situlah tempat di opini publik dibentuk.

Center for Innovation Policy and Governance (CIPG) mengadakan penelitian tentang asal usul fenomena buzzer dan menemukan bahwa buzzer lahir bersamaan dengan kemunculan Twitter pada tahun 2009. Awalnya, buzzer merupakan strategi pemasaran untuk mempromosikan produk sehingga meningkatkan penjualan. Hal ini bisa dihubungkan dengan buzz marketing, di mana pemasaran dilakukan dari mulut ke mulut. Dalam buzz marketing, persepsi baik konsumen terhadap produk atau merek sangat penting.

Untuk memahami motif pengguna jasa buzzer, TFR mewawancarai J (23) yang tinggal di Jakarta. Ia pernah bekerja di sebuah agensi konsultasi politik, yang sering menggunakan jasa buzzer dan influencer untuk mendorong agenda kliennya-sebagian besar melalui media sosial.

“Saat pemilihan presiden tahun 2019, saya sering menjamu makan malam mewah untuk para buzzer Twitter. Kami berkumpul untuk merumuskan strategi dalam menyebarkan kampanye yang digelar oleh salah satu kandidat, di mana targetnya adalah anak muda di kawasan perkotaan Jakarta,” kata J.

Ia membuat rencana editorial mingguan untuk para agen buzzer sehingga mereka bisa membuat materi tersebut menjadi viral. Upah setiap agen bervariasi, tergantung dari kinerja mereka. “Kami memonitor setiap agen dan akun bot mereka, lalu kami membuat analisis berdasarkan indikator kinerja yang sudah kami tentukan. Setiap anggota agen bisa meraup penghasilan sebesar Rp300.000 hingga Rp600.000 per bulan.”

Selain akun palsu di balik agen buzzer, J juga menggunakan jasa influencer untuk kliennya. “Salah satu klien saya adalah Kementrian Koordinator. Saat itu mereka ingin mendorong beberapa UU. Saya mempekerjakan dua influencer; yang pertama merupakan akun anonim dengan nuansa keagamaan sebagai personanya, sedangkan yang kedua merupakan SJW yang terkenal di Twitter. Kami membuat penjelasan singkat tentang UU tersebut dan bagaimana kami ingin UU itu tersampaikan, tapi kami menyerahkan kepada mereka untuk menyampaikannya dengan kalimat mereka sendiri. Harga jasa influencer pertama adalah Rp500.000 per tweet, sedangkan yang kedua lebih murah Rp200.000 karena pengikutnya lebih sedikit.”

Menurut J, kesuksesan kinerja buzzer sulit untuk diukur meskipun ada indikator yang telah ditentukan. “Meski hasilnya tidak bisa diukur dengan angka, kami terus menggunakan jasa mereka karena secara umum kami melihat bahwa orang-orang memang sangat terpengaruh dengan apa yang mereka ikuti. Algoritma echo-chamber (ruang gema) yang ada di media sosial memang terbukti berfungsi.”

Meski begitu, tidak semua dukungan politik diatur atau dibeli. Beberapa bisa juga bersifat organik. Misalnya, Pandji Pragiwaksono yang mendukung Anies Baswedan di pemilihan kepala daerah DKI Jakarta melawan Basuki Tjahaja Poernama dan Agus Harimurti Yudhoyono. Pandji mendukung Anies dengan memposting hal-hal baik tentang Anies ke akun media sosialnya. Contoh lain adalah Dr. Tirta, seorang aktivis kesehatan dan influencer, yang secara terbuka mendukung Joko Widodo pada pemilihan umum 2019 melalui akun media sosialnya.

Yang membedakan dukungan dari influencer dan yang digerakkan oleh buzzer adalah semua perkataan yang dilontarkan oleh influencer bisa dipertanggungjawabkan karena mereka adalah orang asli. Di sisi lain, buzzer lebih susah dilacak karena mereka menggunakan akun sekali pakai. Inilah mengapa buzzer seringkali menyebarkan berita palsu dan propaganda meski ada UU ITE yang mengatur penggunaan media sosial dan melarang penyebaran informasi palsu.

Akun Instagram @opposite78910 menyebarkan informasi palsu tentang kecurangan pada sistem penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum pada pemilihan presiden 2019. Informasi tersebut terbukti palsu, tetapi mampu memicu keributan di media social, di mana orang-orang berspekulasi bahwa pemilihan tersebut dilaksanakan secara tidak adil.

Hasil kerja buzzer bisa berbahaya mengingat rendahnya literasi digital Indonesia. Dengan adanya informasi palsu dan propaganda yang beredar di internet, kebenaran sangat sulit untuk disaring. Narasi yang bermunculan kerap memicu kerusuhan hingga di luar media sosial. Contohnya, kasus penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Poernama, di mana salah satu kampanyenya diedit dan disebarkan di seluruh media sosial, yang kemudian memantik gerakan 212.

Di era modern ini, kita tidak bisa menghindari penggunaan media sosial karena semua hal sekarang sudah melalu proses digitalisasi. Oleh karenanya, penting untuk meminimalisir dampak negatif dengan memilah informasi yang kita temui di media sosial secara bijak, baik yang datangnya dari influencer maupun buzzer.


Artikel terkait


Berita