Masalah pergantian tipografi merek mewah

rebranding-01.jpg

Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan kerap memperbarui citra perusahaan atau rebranding. Beberapa merek seperti Nike bahkan sempat mengganti nama merek mereka. Rebranding bukan hal baru dan biasanya menandakan pergantian fokus sebuah perusahaan.

Lima bulan setelah Riccardo Tisci ditunjuk sebagai direktur kreatif Burberry pada tahun 2018, ia meluncurkan desain logo dan tipografi baru Burberry karya desainer legendaris asal Inggris, Peter Saville.

Foto: Logo terbaru Burberry

Foto: Logo terbaru Burberry

Bagi Tisci, pergantian logo menandakan babak baru Burberry setelah lepas dari direktur kreatif sebelumnya yang menduduki jabatan tersebut selama 17 tahun, Christopher Bailey. Bagi Diet Prada dan kebanyakan warganet, logo baru Burberry yang terdiri dari huruf T dan B yang saling mengunci satu sama lain mirip dengan bentuk kue kering pretzel.

Tidak hanya Burberry, rebranding yang dilakukan oleh merek fesyen mewah kerap menuai kritik pedas dan menggemparkan publik. Pasalnya, tipografi atau font yang baru terlihat mirip satu sama lain. Semuanya memakai jenis tipografi yang sama, yaitu sans-serif.

Secara garis besar, ada dua jenis font yang paling sering digunakan, yaitu serif dan sans-serif. Serif merupakan ekor di ujung garis atau badan huruf. Karateristik serif yang lain bisa dilihat dari kontras antara tipis dan tebalnya garis. Salah satu font serif yang sering dijumpai adalah Times New Roman.

Sementara, sans-serif tidak memiliki ekor maupun kontras antara tipis dan tebalnya garis. Badan huruf sans-serif sama besar. Beberapa font sans-serif yang sering digunakan adalah Helvetica, Gill Sans, dan Arial.

Serif menciptakan kesan elegan dan klasik, sedangkan sans-serif terkesan lebih modern dan minimalis. Popularitas sans-serif meningkat pada abad ke 19 ketika font jenis ini umum digunakan untuk judul iklan. Font jenis ini mudah dibaca dari jauh.

Sebaliknya, serif lebih cocok digunakan untuk bahan bacaan. Kontras antara tipis dan tebalnya garis nyaman di mata. Publikasi yang kita baca sehari-hari, seperti koran, majalah, dan kebanyakan laman, pasti memilih serif sebagai font untuk badan artikel.

serif vs sans-02.png

Lalu apa masalahnya dengan rebranding merek mewah?

Eksistensi merek-merek fesyen mewah sangat erat kaitannya dengan budaya dan warisan yang sudah berusia lebih dari satu abad. Meskipun zaman sudah berubah, merek-merek ini masih menggunakan budaya, warisan, dan kisah pendiri atau pemilik awal mereka untuk meningkatkan daya jual merek.

Semakin lama sebuah merek bertahan di pasar, semakin banyak cerita yang bisa dijual - Louis Vuitton dan Hermés yang mulai dari aksesoris berkuda, Chanel yang tercipta dari melanggar norma berpakaian perempuan pada zaman itu serta Mark Cross yang merupakan merek fesyen mewah tertua asal Amerika.

Contoh lebih lanjut bisa kita lihat pada monogram CC di tas Chanel. Sampai sekarang pun, Chanel masih menggunakan nama pendirinya, Coco Chanel, untuk menjual citra mereknya.

Parfum Chanel No. 5 dipasarkan sebagai parfum favorit Coco Chanel. Chanel juga meluncurkan tas yang diberi nama Gabrielle, nama asli Coco Chanel. Biografi Coco Chanel juga sudah diadaptasi ke layar lebar beberapa kali.

Fakta ini saja cukup untuk dijadikan argumen mengapa orang-orang mengkritik keras hasil rebranding yang tidak berbeda jauh satu sama lain. Apalagi, semuanya menggunakan warna hitam dan putih.

Jejak warisan dan kisah pendiri seharusnya jangan dihilangkan dari tipografi jika merek tersebut masih menggunakan kedua aspek tersebut untuk menjual citra dan produk.

John Whelan di laman Business of Fashion menuturkan beberapa permasalahan mengenai rebranding yang kurang tepat sasaran. Menjadi serba sama atau homogenitas adalah ancaman bagi industri kreatif global. Whelan juga menyatakan keberatannya terhadap rebranding Burberry.

“Barangkali contoh yang paling janggal adalah rebranding Burberry hasil karya Peter Saville. ‘London England’ yang dipertahankan di logo menunjukan hubungan positif antara merek Burberry dengan kota dan negara tersebut, akan tetapi kearifan lokal kota dan negara tersebut dihapus [dari font].”

Apakah itu berarti sans-serif tidak sesuai untuk merek mewah?

Menggunakan sans-serif untuk merek yang kaya akan budaya dan warisan tidak mudah, tetapi juga bukan berarti tidak bisa dilakukan. Rimowa dan Gucci sukses mengaplikasikan font sans-serif ke merek mereka.

Bagian paling sulit dalam tipografi adalah detil-detil kecil. Desainer harus teliti mengenai ukuran, bentuk, tinggi, dan ketebalan setiap huruf, termasuk jarak antara huruf atau kerning. Misalnya,dalam membuat huruf ‘O.’ Huruf ini di beberapa font berbentuk bulat dan di beberapa font berbentuk agak lonjong.

Huruf ‘O’ pada Louis Vuitton memiliki bentuk bulat. Bisa dipastikan tas Louis Vuitton yang memiliki huruf ‘O’ lonjong adalah barang palsu.

louisvuitton.jpg

Tipografi memiliki peran besar dalam citra sebuah merek. Desainer bukan satu-satunya yang bisa tahu apakah desain logo maupun tipografi tidak sesuai dengan citra sebuah merek. Orang awam pun bisa merasakan hal ini. Branding atau citra adalah persepsi. Persepsi hanya ada di dalam pikiran.

Pemilihan tipografi harus disesuaikan dengan desain koleksi. Patut diketahui juga bahwa dominasi font sans-serif dipengaruhi oleh maraknya pakaian kasual.

Foto: Kaos katun Burberry dengan inisial TB

Foto: Kaos katun Burberry dengan inisial TB

Kebanyakan merek yang sudah rebranding meluncurkan pakaian kasual seperti kaos. Burberry meluncurkan kaos dengan monogram TB tidak lama setelah mengumumkan pergantian logo dan tipografi.

Perombakan citra yang tidak terlalu drastis dialami Dior ketika Maria Grazia Chiuri diangkat sebagai direktur kreatif di tahun 2016. Koleksi pertama Chiuri untuk Dior menghadirkan kaos feminis dan beberapa pakaian yang bergaya lebih kasual.

Menyesuaikan diri dengan selera pasar memang penting untuk bertahan, tetapi bukan berarti mengorbankan warisan, budaya, dan kisah pendiri demi mengikuti tren.