Bagaimana pemerintah Indonesia menangani pandemi: Rangkuman kebijakan terkait COVID-19

Read in English

Sekitar dua minggu lalu, Indonesia menjadi episentrum baru COVID-19, melampaui Brasil dan India dengan lebih dari 40.000 kasus terkonfirmasi per hari. Oleh karena itu, untuk mengatasi pandemi, pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah serta menerapkan beberapa kebijakan terkait, yang akan disusun dan dirangkum lebih lanjut.

Indonesia mencatat dua kasus COVID-19 pertamanya pada 2 Maret 2020, dan sejak itu wabah mulai meningkat secara bertahap hingga menjadi tidak terkendali. Untuk memahami situasi krisis secara keseluruhan, Indonesia mulai menetapkan langkah-langkah spesifik sebagai respons pandemi. Sebagai respons awal, pemerintah memberlakukan pembatasan perjalanan ke dan dari China daratan, Korea Selatan, Iran, dan Italia - negara dengan kasus COVID-19 yang melonjak saat itu.

Pada 13 Maret 2020, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No.7/2020 yang mengatur pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 yang akan bertindak sebagai koordinator untuk mengawal upaya pemerintah Indonesia dalam percepatan mitigasi pandemi COVID-19. Beberapa hari kemudian, Presiden Joko Widodo memperkenalkan praktik jaga jarak kepada publik dan mengumumkan rencana untuk menerapkan lockdown.

Pada saat yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan pengalihan anggaran sebesar Rp1 triliun dari anggaran infrastruktur untuk perawatan kesehatan dan pencegahan pandemi. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim juga mengumumkan bahwa pihaknya siap memfasilitasi pembelajaran online dan menyediakan platform gratis untuk mendukung kebijakan tersebut. Tidak lama setelah itu, pemerintah juga merilis protokol kesehatan resmi COVID-19 yang bisa menjadi acuan bagi masyarakat.

Pada akhir Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Peraturan tersebut mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang memungkinkan setiap pemerintah daerah untuk membatasi pergerakan orang dan barang keluar masuk wilayahnya masing-masing jika telah mendapat izin dari Kementerian Kesehatan. Undang-undang tersebut juga membatasi pertemuan publik, ibadah fisik, sekolah, dan pekerjaan. Pada 14 April 2020, presiden menandatangani Keputusan Presiden No.11/2020 yang menyatakan COVID-19 sebagai bencana nasional. Undang-undang tersebut didasarkan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Medis. Indonesia juga melarang mudik Idul Fitri untuk menghentikan penularan COVID-19 sesuai Peraturan Menteri Perhubungan No.25/2020.

Pada Juli 2020, berdasarkan Perpres No.82/2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dibubarkan dan tugasnya dialihkan ke satuan tugas penanganan COVID-19 di Komite Nasional Penanganan dan Pemulihan Ekonomi COVID-19. Komite ini menerapkan semua formula untuk meminimalkan wabah COVID-19 sekaligus berupaya untuk memulihkan perekonomian nasional sesegera mungkin.

Pada September 2020, untuk mendukung upaya penanganan pandemi dan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah mengeluarkan anggaran sebesar Rp695,2 triliun, Rp87,55 triliun di antaranya dialokasikan untuk sektor kesehatan. Pemerintah juga telah menyiapkan dana sebesar Rp372 triliun untuk melanjutkan program pemulihan ekonomi pada tahun 2021. Hingga akhir tahun 2020, pemerintah mulai lebih fokus pada percepatan pengadaan vaksin COVID-19, sebagaimana diatur dalam Perpres No.99/2020.

Memasuki tahun 2021, pada bulan Januari, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengeluarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.1/2021 yang mengatur keputusan untuk menerapkan lockdown lagi di wilayah Jawa dan Bali. Namun, berbeda dengan sebelumnya, kali ini pemerintah memperkenalkan istilah baru yang dikenal dengan PPKM atau Penegakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat. Pada Februari, presiden memperkenalkan konsep baru lockdown 'skala mikro', karena yang berskala besar dianggap tidak efektif. Presiden yakin bahwa PPKM skala mikro akan lebih efektif karena Indonesia memiliki aparatur pemerintah hingga unit terkecil di tingkat RT.

Selama semester pertama 2021, regulasi pemerintah terkait COVID-19 lebih fokus pada program vaksinasi massal, menilai efektivitas lockdown, dan mempercepat penyaluran bantuan sosial bagi mereka yang sangat terdampak pandemi. Sayangnya, pada saat yang sama, jumlah kasus COVID-19 terus meningkat tak terkendali setelah Idul Fitri 2021, meskipun penerapan larangan mudik lebih ketat dibandingkan tahun lalu.

Dalam hal program vaksinasi, Indonesia hingga akhir Juli telah mendapatkan setidaknya 173 juta dosis vaksin COVID-19: 147,7 juta dari Sinovac, 14,8 juta dari AstraZeneca, 6 juta dari Sinopharm, dan 4,5 juta dari Moderna. Indonesia juga mendapat teguran dari WHO terkait skema vaksinasi Gotong Royong yang merupakan program vaksin COVID-19 mandiri yang diselenggarakan oleh perusahaan farmasi milik negara, Kimia Farma, karena menimbulkan masalah etika dan menghambat upaya menciptakan jaminan kesetaraan akses ke vaksin.

Publik juga mengkritik program tersebut karena dianggap sebagai upaya komersialisasi vaksinasi dan mencari keuntungan dari pandemi. Program tersebut kemudian dibatalkan.

Dengan varian Delta yang baru dan lebih mematikan dan terlepas dari penerapan kebijakan tersebut, pada 15 Juli Indonesia mencapai puncak penyebaran virus corona dengan 56,757 kasus harian. Saat artikel ini ditulis, Jawa dan Bali sedang menjalani lockdown skala mikro yang akan segera dilonggarkan, seperti disampaikan oleh presiden pada 25 Juli.

Saat ini, Indonesia telah mencatat 3.239.936 kasus dan 86.835 pasien meninggal, tiga kali lebih tinggi dari angka kematian rata-rata global. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia terus dikritik karena kinerjanya yang buruk dalam menangani pandemi dan masyarakat mulai mempertanyakan efektivitas berbagai kebijakan yang diterapkan.

Terbaru: PPKM Darurat diperpanjang hingga 9 Agustus