#SinematikGakHarusToxic: Ketika pekerja film bersuara

Read in English

Antara Maret dan April 2021, pembuat film, aktris, aktor dan pekerja film di seantero negeri mengunggah animasi pendek berjudul Silenced: Mau Sampai Kapan? di akun Instagram mereka. Film ini mendiskusikan kenyataan suram di balik pembuatan film: pelecehan seksual. Video ini dibuat oleh Kawan Puan dan Kitabisa, serta melibatkan produser dan sutradara Gina S. Noer, aktris Mian Tiara, Hannah Al Rashid, dan Adinia Wirasti.

Mian Tiara membagikan pengalamannya ketika seorang aktor senior melecehkannya secara seksual di lokasi syuting pada tahun 2020. Setelah itu, Hannah Al Rashid menghubunginya karena mereka mengalami pengalaman serupa. Inilah yang menginspirasi Hannah untuk berpartisipasi dalam Woman’s March Jakarta dengan membawa poster yang mengkritik industri yang dia geluti. Poster tersebut merinci lokasi syuting yang ideal, dengan poin ketiga berberbunyi “NO LELAKI YANG TANGANNYA KE MANA-MANA” dengan #SinematikGakHarusToxic di bawahnya.

Kekerasan seksual di industri perfilman adalah sesuatu yang tidak didiskusikan secara terbuka di Indonesia meski hal tersebut sudah menghantui industri sejak lama. “Isu ini adalah sesuatu yang kami, aktor, dengar atau bahkan alami, namun tidak ada outlet, kesempatan, atau tempat aman untuk menceritakannya,” ucap Hannah. Dia sendiri berpikir bahwa banyak orang dalam industri perfilman merahasiakan pengalaman mereka karena banyak alasan, salah satunya prospek untuk sukses dalam industri ini.

Situasi ini bertahan setidaknya sampai Mian Tiara mengungkapkan pengalamannya lewat Twitter.

Dalam utasnya, Mian memceritakan bagaimana dia hanya bisa membeku ketika aktor senior tersebut melanggar batasan tubuhnya. Mian menjauhkan diri dari pelaku dan mencoba untuk menjaga para perempuan lain di lokasi syuting, kalau-kalau si pelaku akan melakukan sesuatu pada mereka. Kali kedua si pelaku melakukannya di hari yang sama, Mian mencoba untuk kabur. “Yang membuat saya marah adalah saya tidak bisa bereaksi seperti yang seharusnya,” tulisnya. Mian khawatir orang lain akan berpikir bahwa dia bereaksi berlebihan, dan si pelaku akan menyangkalnya dengan mudah.

Setelah membaca utas Mian, Hannah Al Rashid mendapati dirinya mengingat kembali pengalamannya sendiri ketika batasannya dilanggar oleh seorang aktor senior. “Saya sedang berada di dalam taksi online ketika saya pertama membaca utas tersebut dan tubuh saya mulai gemetar,” katanya. “Saya menunjukkan reaksi fisik ketika membaca itu.” Setelah Hannah menghubungi Mian, dia mendapati bahwa pelakunya adalah aktor senior yang sama.

Didorong oleh keinginan untuk menjangkau sesama penyintas dalam industri, Mian dan Hannah mulai menghubungi orang-orang lain dan mulai terbuka untuk dihubungi oleh sesama pelalu industri. Belajar dari kasus Harvey Weinstein dan gerakan #MeToo, Hannah berkata bahwa perempuan dalam industri perfilman sudah sejak lama menerapkan sistem peringatan bawah tanah, di mana mereka akan membangkitkan kewaspadaan dan mengingatkan satu sama lain secara rahasia. Hannah menambahkan bahwa tidak ada standar operasi yang berlaku mengenai laporan pelecehan seksual.

Lingkungan industri perfilman juga membantu melanggengkan gagasan bahwa kekerasan seksual tidak penting. Lingkungan itu membiarkan setiap kasus kekerasan seksual disembunyikan dan dilupakan. Mian menjelaskan bagaimana budaya menyalahkan korban dan risiko kehilangan pekerjaan membuat kebanyakan penyintas memilih untuk diam. “Namun, faktor utamanya adalah kurangnya payung hukum bagi kami,” lanjutnya. Dalam lingkungan yang kita miliki di Indonesia, kalaupun penyintas bersuara, tidak ada proses hukum yang jelas bagi pelaku dan tidak ada perlindungan hukum bagi korban.

“Selama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak disahkan, usaha apa pun untuk mencari keadilan bagi penyintas dan menuntut pertanggungjawaban dari pelaku hanya akan berhenti di titik yang tidak selesai,” pungkasnya.

Pengalaman Mian dan Hannah hanyalah puncak gunung es. Dalam industri ini, pengalaman serupa diceritakan secara diam-diam di dalam kelompok yang lebih kecil. Satu-satunya cara mereka bisa tetap aman untuk saat ini adalah dengan menjalankan sistem peringatan bawah tanah untuk memperingatkan satu sama lain dengan harapan bahwa para perempuan yang bekerja dengan pelaku dapat menjaga diri.

Pengalaman lain diceritakan oleh Nina* yang bertanggungjawab atas pakaian di lokasi syuting. Nina mengatakan bahwa di salah satu dari banyak proyek yang sudah dia ikuti, dia pernah harus bekerja dengan aktor senior yang disebut di atas. “Sejak kecil, saya sering menonton filmnya dan dia juga cukup berprestasi,” ceritanya. “Tapi ketika saya akhirnya bertemu dengannya di kehidupan nyata… mengecewakan.”

*bukan nama asli

Dari pengalamannya, aktor itu memanfaatkan lingkungan pekerjaan Nina, di mana gurauan seksual dilontarkan dengan santai untuk menghangatkan suasana. “Namun, para anggota tim selalu merasa tidak nyaman ketika aktor itu melakukannya,” ucapnya. Kemudian terbukti bahwa aktor tersebut tidak berhenti hanya pada pelecehan verbal saja, tetapi juga berlanjut ke pelecehan fisik.

“Saya orang yang pemberani, saya selalu berbicara ketika ada sesuatu yang terjadi, tapi bahkan orang seperti saya tercengang pada awalnya,” Nina menceritakan pengalamannya. “Saya bingung, tidak tahu harus berbuat apa, tidak bisa hanya meninju wajahnya, saya hanya…. ‘dia memegang payudara saya.’”

Industri perfilman memang tampak sangat glamor dan cerah. Kita melihat artis memenangkan penghargaan, berpesta di antara lingkaran kecil mereka, mengenakan merk-merk terkenal yang sebagian dari kita hanya bisa membayangkannya. Di saat yang sama, predator seksual di industri ini bersembunyi dalam zona nyaman, yakin bahwa pekerjaan mereka tidak akan terpengaruh oleh kelakuan buruk mereka karena tidak adanya SOP yang tepat. Hal ini lalu menimbulkan pertanyaan: siapa yang bertanggungjawab dalam membuat semua orang merasa nyaman, apa kata mereka tentang hal itu?

Gina S. Noer, produser, sutradara film, dan pendiri Wahana Kreator Nusantara, sudah sejak lama prihatin mengenai isu kesetaraan gender itu sendiri. “Sebagai pendongeng, jika kita ingin menceritakan kisah yang memanusiakan manusia, kita harus mulai dari menciptakan tempat kerja yang nyaman bagi semua orang untuk bisa bekerja secara optimal,” jelasnya. Mengikuti inisiatif yang dibuat oleh Mira Lesmana dan Nia Dinata, Gina kemudian mulai memasukkan klausa anti-pelecehan seksual dalam kontrak kerja bagi setiap individu yang bekerja di film atau serial yang diproduksi Wahana Kreator Nusantara.

Gina menyadari bahwa untuk membentuk lingkungan pekerjaan yang diinginkan, seorang sutradara memainkan peran yang sangat besar dalam mengatur suasana produksi film. Sebagai industri yang serupa dengan klub anak laki-laki, nuansanya sering dilukiskan dengan apa yang dianggap normal oleh banyak pria heteroseksual berjenis kelamin cis. Sebaik-baiknya kru, sebagai contoh, beberapa melakukan catcall. Menyadari seriusnya tindakan tersebut, Gina berkomitmen untuk selalu turun tangan mengedukasi semua yang bekerja di proyeknya setiap ada kesempatan.

Sebagai seseorang yang pada dasarnya memiliki dan bertanggung jawab atas produksi film, produser menjadi wakil dari setiap divisi di lokasi syuting. Idealnya, kepala setiap divisi akan menghubungi produser untuk koordinasi jika sesuatu terjadi. Namun, jika peraturan dan SOP tidak ditetapkan, tidak ada yang benar-benar bisa bertindak. Itulah mengapa Nadine, produser dari BASE Entertainment, menganggap dimasukkannya klausa anti-pelecehan seksual dalam perusahaannya sebagai sebuah langkah maju.

Namun, dia juga sadar bahwa situasi belum ideal. “Kita bisa menetapkan bahwa (produser) adalah tempat yang aman, sebagai langkah awal,” tuturnya. “Saya rasa seharusnya ada satu atau dua orang dari pihak produser untuk menyediakan diri bagi Anda untuk berbagi pengalaman.” Dengan begitu, tim yang bertanggungjawab atas produksi film akan bisa menyelidiki dan mencari solusi.

Nadine menambahkan bahwa dalam pengamatannya, intern perempuan rentan terhadap pelecehan seksual, terutama dari kolega senior. Mereka seringkali dipandang sebagai orang yang mudah dibodohi, dan maka dari itu mengalami pelecehan verbal. Pelecehan yang mereka alami mungkin tidak sampai bersifat fisik, tapi perkataan “pagi, manis” atau “kamu terlihat cantik hari ini” terasa tidak nyaman bagi mereka yang ingin diperlakukan seperti orang biasa. “Saya bersimpati dengan mereka karena mereka pastinya memasuki industri ini dengan banyak mimpi dan harapan, namun lingkungan ini bisa menghancurkan mimpi mereka.”

Seperti yang dicatat oleh Komnas Perempuan, pada tahun 2020, pelecehan seksual dan penganiayaan masih mendominasi bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan dalam area publik/komunitas. Kategori ini termasuk tempat kerja, tempat di mana perempuan mencari penghasilan, di mana keselamatan dan kesejahteraan mereka harus menjadi prioritas. Industri perfilman sudah mulai menunjukkan sikap mereka selangkah demi selangkah. Satu hal yang pasti, kekerasan seksual dalam bentuk apa pun tidak akan dan tidak boleh dianggap enteng.


Artikel terkait


Berita