Ketika neurosains berpadu dengan ilmu pemasaran

Read in English

morgan-housel-bY5OUwKx3XU-unsplash.jpg

Dalam sesi seminarnya di acara TEDx Talks pada tahun 2019, ilmuwan neurosains Dr. Terry Wu membahas sebuah riset (North, Hargreaves, & McKendrick (1999)) yang mempelajari tentang pengaruh musik yang diputar di sebuah toko terhadap pilihan anggur. Riset tersebut mendapati bahwa pada hari-hari di mana musik Jerman diputar, penjualan anggur buatan Jerman lebih tinggi ketimbang penjualan anggur buatan Perancis, sedangkan ketika musik Perancis diputar, anggur buatan Perancis terjual lebih banyak daripada anggur buatan Jerman.

“Namun, ada penemuan yang menarik,“ tambah Dr. Wu, “Ketika para pembeli ditanya apakah musik yang diputar mempengaruhi pilihan anggur mereka, seperti yang kalian tebak, lebih dari 90% responsen menjawab tidak.”

Studi tersebut menunjukkan bahwa keputusan untuk membeli dapat dipengaruhi oleh hal-hal yang kadang tidak kita sadari. Tetapi, studi ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan: Apakah kita mengambil keputusan berdasarkan fakta, akal, dan logika? Ataukah kita mengambil keputusan berdasarkan emosi, perasaan, dan intuisi?

Ternyata, 95% dari keputusan kita untuk membeli sesuatu ditentukan oleh alam bawah sadar, dan di sinilah neurosains berpadu dengan ilmu pemasaran. Dalam kesempatan yang sama, Dr. Wu mengkomunikasikan sebuah konsep yang disebut neuromarketing. Neuromarketing merupakan ilmu pengetahuan baru yang mempelajari bagaimana manusia mengambil keputusan untuk membeli sesuatu, dan bagaimana emosi dan intuisi kita membentuk keputusan tersebut.

Walau masih ditanggapi secara skeptis oleh beberapa pihak, aplikasi neuromarketing di kalangan pelaku bisnis mulai berkembang, terutama karena cara pemasaran tradisional tidak dapat memberikan pemahaman mengenai pengalaman emosional bawah sadar konsumen.

Tizar Shahwirman, brand accelerator consultant di Big Change Agency, berpendapat bahwa para pelaku bisnis kini mulai mengadopsi pendekatan yang lebih humanis dalam memasarkan produk-produk mereka. Dirinya melihat bahwa banyak perusahaan yang mulai mencoba memahami lebih jauh tentang jiwa manusia, yang oleh Carl Jung dibagi menjadi tiga komponen: kesadaran (ego), ketidaksadaran personal, dan ketidaksadaran kolektif.

Komponen ketidaksadaran kolektif terbagi menjadi 12 pola dasar, yaitu pribadi bijaksana, polos, penjelajah, pemimpin, pencipta, pengasuh, pesulap, pahlawan, pemberontak, pencinta, pelawak, dan yatim piatu.

“Mari kita ambil contoh sebuah merek sabun mandi ternama, yang menggunakan warna putih susu sebagai identitas dominan mereka. Kalau melihat pilihan huruf dan desainnya, dapat disimpulkan bahwa merek tersebut merepresentasikan pola dasar polos. Pilihan-pilihan ini merepresentasikan citra yang ingin diangkat, dalam hal ini mungkin kemurnian,” Tizar menambahkan. Para pelaku bisnis telah menemukan cara untuk menyampaikan pesan mereka dengan mempengaruhi alam bawah sadar konsumen

Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi alam bawah sadar konsumen dapat mendatangkan keuntungan finansial bagi para pelaku bisnis. Google, contohnya, di mana perubahan minor pada warna yang digunakan telah menghasilkan kenaikan pendapatan iklan sebesar 200 juta dolar Amerika Serikat. Para desainer Google awalnya menyadari bahwa pengguna lebih banyak mengklik sebuah tautan ketika tautan tersebut menggunakan warna biru tertentu, dibandingkan warna biru lain.

Karenanya, Google kemudian mengadakan tes A/B yang meliputi 41 warna biru yang berbeda, dan menemukan bahwa warna biru yang keungu-unguan lebih kondusif dalam menghasilkan klik dibandingkan warna biru bernuansa hijau. Penemuan ini menjadi dasar dari keputusan perusahaan untuk mengubah warna tautannya. Para pengguna yang memilih untuk mengklik tautan berdasarkan warna tidak melakukannya secara sadar. Keputusan itu adalah hasil dari peran alam bawah sadar mereka dalam membuat suatu keputusan.

Meski popularitasnya semakin meningkat, masih banyak yang mempertanyakan manfaat dari neuromarketing. Apakah upaya ini sepadan dengan uang, waktu, dan tenaga yang dicurahkan? Bagaimana melakukannya dan alat-alat apa yang paling efektif?

Secara umum, pemindaian otak, yang memeriksa aktivitas syaraf dengan peralatan seperti fMRI dan EEF, dan pelacakan fisiologis, yang mengamati pergerakan bola mata dan proksi lainnya, adalah metode-metode yang paling sering digunakan. Selain itu, manfaat neuromarketing akan lebih mudah dilihat ketika dibandingkan dengan pendekatan pemasaran tradisional.

Berbeda dengan cara-cara yang lazim digunakan dalam pemasaran tradisional, seperti wawancara dan survei, neuromarketing dapat mengeliminasi bias dan kecenderungan untuk memberikan jawaban yang dirasa lebih dapat diterima. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu tim riset yang dipimpin oleh Moran Cerf, seorang ilmuwan neurosains dan dosen di Northwestern’s Kellogg School of Management, mampu memprediksi kesuksesan beberapa film layar lebar 20% lebih akurat dibanding metode tradisional dengan menggunakan sinkronisitas EEG responden ketika menonton trailer film-film tersebut.

Riset tersebut mengukur tingkat keterlibatan responden secara real time dengan menganalisa gelombang otak mereka. Tiap trailer yang ditonton diberikan skor kesamaan saraf berdasarkan sejauh mana kesamaan pola otak responden dengan satu sama lain. Pola otak yang memiliki lebih banyak kesamaan menunjukkan tingkat keterlibatan lebih tinggi terhadap konten yang ditayangkan. Metode kesamaan saraf ini juga berhasil mengidentifikasi momen puncak keterlibatan.

Trailer yang memiliki momen puncak keterlibatan pada 16-21 detik pertama memiliki tingkat penjualan tiket tertinggi setelah filmnya dirilis. Penemuan neurosains seperti ini sangat berguna dalam mendesain strategi pemasaran film dan konten lain di masa mendatang.

Terlepas dari betapa seru dan revolusionernya ilmu pengetahuan baru ini, penting untuk dicatat bahwa pendekatan neurosains dalam pemasaran tidak dapat diaplikasikan pada semua produk. Tizar menuturkan bahwa pendeketan ini mungkin tidak efektif untuk memasarkan produk-produk kebutuhan primer, “Terutama di saat seperti sekarang ini, karena untuk kebutuhan primer, konsumen cenderung lebih termotivasi oleh harga.”

Para pengkritik neuromarketing juga mempertanyakan apakah pendekatan ini terbilang etis, mengingat neuromarketing memberikan wawasan tentang proses yang tidak disadari oleh manusia. Salah satu ketakutan terbesar yang ditimbulkan oleh neuromarketing adalah kemungkinan ditemukan dan dieksploitasinya ‘tombol beli’ pada otak manusia, yang kemudian dapat digunakan oleh pelaku bisnis untuk menggoda konsumen agar berbelanja dan meningkatkan penjualan mereka.

Ditambah lagi, peralatan yang digunakan untuk melakukan riset neuromarketing terbilang relatif mahal apabila dibandingkan dengan peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan riset pemasaran tradisional. Hal ini dapat menjadi penghalang bagi perusahaan-perusahaan kecil dalam mengadopsi pendekatan neuromarketing.

Sampai hari ini, neuromarketing masih merupakan konsep yang relatif baru dan belum diadopsi dan digunakan secara masif. Namun, manfaat dan informasi yang dapat diberikan oleh ilmu pengetahuan ini mengindikasikan masa depan yang menjanjikan bagi aplikasinya.

Adapun kritik yang disampaikan terkait metode ini, Tizar percaya bahwa pemasaran – dalam bentuk apapun, termasuk neuromarketing – dapat menjadi pisau bermata dua; aplikasinya dapat membawa kebaikan atau keburukan, yang pada akhirnya hasilnya tergantung pada tujuan kita dan bagaimana kita menerapkannya.