Budaya meniru - Bagian 2. Apakah kita diajarkan untuk menjadi pengikut?

Read in English

Dalam artikel yang terbagi ke dalam empat bagian, TFR mengobservasi dan melakukan analisis penyebab budaya meniru di Indonesia. Tujuan seri ini adalah untuk edukasi, informasi, serta memberikan masukan.

knockoff culture (web)-02.png

“Aku memutuskan untuk daftar ke [Fashion Institute of Technology] FIT karena lebih banyak opsi untuk jurusan fesyen,” kata Audrey Martiandy, mahasiswa jurusan textile/surface design di FIT, New York. “Tidak banyak yang tahu bahwa jurusan ini ada.”

Pernyataan Audrey mendorong TFR untuk mengumpulkan daftar jurusan desain yang ada di universitas-universitas di Indonesia. Hasilnya, hampir semua universitas dan program diploma menawarkan jurusan desain grafis atau desain komunikasi visual (DKV). Jurusan kedua yang paling banyak ditawarkan adalah desain interior, disusul oleh desain busana.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah mata kuliahnya. Hampir semua fokus di aspek teknis dalam desain, seperti tipografi, desain digital, dan pembuatan pola.

Kemampuan menggunakan aplikasi desain, mengembangkan selera, memahami layout, menguasai teori warna, dan menciptakan branding merupakan aspek penting dalam membangun dasar-dasar desain. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara mahasiswa tamatan desain bersaing satu sama lain sementara mereka memiliki kemampuan serupa di industri yang sudah ramai ini?

Ketika mahasiswa hanya diajarkan sisi praktis dan teknis, mereka tidak akan dipacu untuk menjadi kritis, kreatif, dan memecahkan masalah. Menjadi inovatif memerlukan tiga hal tersebut. Literasi berperan penting dalam berpikir kritis. Sayangnya, hasil penelitian UNESCO pada tahun 2019 menemukan bahwa dalam hal tingkat literasi, Indonesia menempati peringkat kedua terbawah dari 61 negara yang diukur.

Agah, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menjadi pengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar (bimbel) untuk tes masuk ITB, menyatakan hal serupa. “Literasi sangat penting untuk mahasiswa yang mengambil S1. Itulah yang membedakan mereka dengan orang-orang yang les gambar lalu menjadi drafter yang disuruh-suruh [oleh desainer]. Literasi dan hobi membaca sangat kurang di seni rupa. Mahasiswa menganggap seni rupa hanya menggambar.”

Menurut Agah, metode mengajar juga berpengaruh. Sebelum sekolah internasional dan nasional plus bermunculan di akhir tahun 90an dan awal tahun 2000an, sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan metode belajar satu arah. Kemunculan sekolah internasional dan nasional plus memberikan ruang untuk menerapkan sistem belajar dua arah. Namun, penerapan sistem tersebut tergantung pada gurunya.

Apabila kebiasaan belajar yang pasif dibawa ke universitas, mahasiswa akan kesulitan untuk berperan aktif dalam belajar, memulai percakapan intelektual, serta berpikir kritis dan mandiri. Tanpa sadar, kebiasaan belajar pasif juga menumbuhkan pola pikir pengikut.

Menurut Agah, lebih dari 100 siswa di bimbelnya memilih DKV karena sedang trending. Tren sosial seperti menjadi seorang YouTuber juga kian populer di kalangan generasi muda. Media sosial tentunya berperan dalam mendorong tren tersebut.

“Salah satu saudaraku bercita-cita menjadi YouTuber dan dia yakin dia tidak butuh kuliah. Kalau kita telaah lebih dalam, menjadi YouTuber tidak segampang yang terlihat. Hanya satu di antara sejuta orang yang berhasil menjadi YouTuber sukses, tapi balik lagi, trennya mengarah ke sana,” ucap Ahimsa Hindarto (Asa), mahasiswa pascasarjana berusia 23 tahun yang kuliah di University for the Creative Arts (UCA) di Inggris.

Alexandra juga menyuarakan keprihatinan yang sama, “Ada batik dan berbagai warisan budaya lain [di Indonesia]. Aku ingin tau kenapa desainer Indonesia cenderung membuat produk yang dibuat oleh desainer Barat? Apakah karena budaya Barat dianggap lebih bagus atau karena kurangnya representasi budaya Indonesia? Mengapa desainer-desainer Asia secara umum mengambil inspirasi dari budaya Barat sedangkan kita sangat kaya dalam kultur?”

Audrey pun terheran-heran atas kasus tersebut, “Di kuliah saya ada kelas yang mengharuskan semua orang untuk mencoba teknik pembuatan kain, seperti ikat. FIT memiliki ruangan khusus peralatan-peralatan tersebut. Teman-teman sekelas saya yang bukan orang Indonesia sangat senang ketika kami akan membuat kain khas Indonesia.”

Kebiasaan belajar lain yang diperhatikan Audrey adalah dalam proses menciptakan desain, mahasiswa fesyen di Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengambil referensi dari koleksi-koleksi yang sudah lewat. Ina Binandari, dosen desain fesyen di Unisadhuguna International College yang sudah berkecimpung di industri selama 25 tahun, mengamini pernyataan Audrey.

“[Di FIT] Kami didorong untuk mengantisipasi tren yang akan datang berdasarkan hasil laporan proyeksi tren dari WGSN dan EDITED,” kata Audrey. Dalam artikel budaya meniru bagian pertama, TFR mencantumkan pengelompokkan para pengguna inovasi. Indonesia masuk ke dalam kategori mayoritas akhir. Kebiasaan belajar yang disebut Audrey dan Ina tentunya berkontribusi terhadap hal ini.

Pemilihan universitas bisa membangun karakter mahasiswa. Lokasi universitas, contohnya. Universitas yang terletak di tengah kota akan berdampak terhadap proses riset. Ambil contoh Universitas Trisakti di Jakarta Barat, yang dikelilingi oleh gedung-gedung dan kemacetan, serta kurang ramah terhadap pengguna jalan.

Alhasil, lebih sulit bagi mahasiswa untuk melakukan riset di jalan. Berbicara langsung ke narasumber akan berbeda hasilnya dengan riset daring. Mencari inspirasi di Pinterest tidak akan mumpuni karena Pinterest adalah hasil kurasi orang lain. Desain merupakan kombinasi dari literasi, riset, referensi, dan sudut pandang desainer.

Seperti yang pernah dikatakan Koji, kepala kreatif di atmos, kepada TFR, “Anda tidak bisa mencari inspirasi di internet.”

Pengalaman mahasiswa di Trisakti akan beda dengan mahasiswa ITB, yang kampusnya dikelilingi oleh daerah yang ramah terhadap pengguna jalan dan dipenuhi pepohonan.

Selain lokasi, bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang memiliki latar belakang yang beragam sangat bermanfaat bagi proses pembelajaran. Mereka bisa mendengar sudut pandang dan pengalaman hidup yang berbeda. Mahasiswa yang kuliah di universitas swasta yang mahal memiliki latar belakang yang lebih seragam.

“Teman sekelasku ada yang menjadi supir truk sebelum masuk ITB untuk mengumpulkan biaya kuliah. Ada mahasiswa dari desa, ada yang anak petani, anak nelayan, dan ada yang anak orang kaya. Akhirnya menjadi melting pot. Hal itu akan mempengaruhi cara kamu melihat orang lain dan hal-hal di sekitarmu,” kata Agah.

 
Foto: ITB

Foto: ITB

 

Namun, kalau ingin mempertahankan melting pot tersebut, pemerintah harus ikut berperan dalam membantu mahasiswa dari strata ekonomi rendah yang ingin masuk ke jurusan seni rupa dan desain. “Orang Indonesia kebanyakan sangat bergantung kepada bimbel dan itu dijadikan bisnis. Bimbel mahal bagi sebagian orang, sementara bimbel dari pemerintah hanya ada untuk program IPA,” lanjut Agah.

Ketimpangan bisa terjadi bila situasi ini berlanjut karena hanya yang kaya yang bisa maju. Terlebih lagi, akses internet di desa sangat buruk dibandingkan dengan di kota besar. Masalah ini semakin parah di tengah pandemi COVID-19.

Selain itu, kepercayaan dan agama membatasi apa yang boleh dipelajari. “Salah satu alasan yang paling sering saya dengar mengapa anak tidak boleh sekolah seni rupa adalah ‘nanti kamu ikut-ikutan seks bebas karena banyak pornografi,’” kata Agah.

Ada juga persepsi, terutama di kalangan orang tua, bahwa lulusan desain tidak akan menghasilkan uang sebanyak yang dihasilkan lulusan jurusan hukum. Persepsi ini sudah lama berakar di masyarakat karena banyak yang mengasosiasikan seni rupa dengan lukisan, gambar, dan pahatan. Mata pelajaran seni di sekolah berperan dalam menyebarkan persepsi ini.

“[Pelajaran seni di sekolah] Selalu tentang melukis dan menggambar, tapi tidak ada yang berkaitan dengan pengembangan kreativitas. Ada fotografi tapi sangat sedikit,” kata Alexandra yang pernah bersekolah di Indonesia selama enam tahun.

Pada akhirnya, hal-hal ini menciptakan batasan bagi tamatan desain dalam menentukan jalur karir mereka. Banyak yang menganggap pilihan bagi tamatan desain adalah antara menjadi desainer atau membangun studio desain. “Jurusan yang terbatas itu sungguh disayangkan karena banyak perusahaan tekstil di Bandung,” ucap Audrey.

Bila diukur dari jurusan yang sama semua, kesalahpahaman, dan budaya pengikut, muncullah masalah ayam dan telur. Apakah masyarakat menganggap karir bagi tamatan desain yang hanya sebatas menjadi desainer dan membuat studio desain adalah karena jurusan yang ada sangat terbatas, atau jurusan yang ada sangat terbatas karena pilihan karir yang sering ditawarkan di industri hanya sebagai seorang desainer?

Bahasa juga menjadi rintangan di industri kreatif. Industri seni di Indonesia merupakan masyarakat di dalam masyarakat. Industri seni memiliki bahasanya sendiri yang tidak dimengerti oleh orang awam. Hal ini menimbulkan prasangka terhadap seni.

“Kita butuh masukan dari orang yang bukan dari industri seni karena jawaban mereka akan beda. Kita harus transfer bahasa kita ke mereka supaya mereka paham. Bisa jadi itu alasan orang Indonesia tidak menghargai seni. Gimana caranya mau menghargai kalau mereka tidak paham?” jelas Asa.

Pastinya.

Desain keren seharusnya jangan menjadi tolok ukur dalam dunia seni dan desain. Kemampuan berkomunikasi. seperti menerjemahkan dan menyampaikan sebuah pesan dengan efektif kepada publik, jauh lebih relevan. Apa gunanya desain keren kalau target pasar yang dituju tidak mengerti pesan yang ingin disampaikan?

“Di Indonesia, seni hanya dilihat sebagai sebuah ekspresi. Orang-orang tidak menganggap seni dan desain sebagai bisnis yang menguntungkan,” kata Asa. “Universitas belum berkembang. Mereka masih mengajar seni sebatas seni untuk berekspresi. Ketika kita masuk ke abad 21, seharusnya metode mengajar tidak hanya sekedar mengajar seni, tapi mengajar melalui seni. Desainer bisa menjadi pebisnis dengan sisi kreatif. Saya belajar bisnis di sekolah seni, bukan sekolah bisnis. Semua balik lagi ke cara saya mengimplementasikan bisnis ke dalam kreativitas.”

Menurut surat keputusan Kemenristekdikti (sekarang Kemenristek/BRIN) tahun 2017, pemerintah membebaskan perguruan tinggi untuk menambah atau mengubah program studi yang sesuai dengan perkembangan teknologi.

Dalam lampiran terpisah, Kemenristekdikti mencantumkan daftar program studi yang penting untuk Industri 4.0. Bisnis kreatif ada di dalam daftar itu, tetapi belum diaplikasikan sebagai jurusan atau program studi tersendiri. Dari 18 sekolah tinggi dan universitas, hanya empat yang memasukkan bisnis kreatif sebagai mata pelajaran ke dalam kurikulum desain. Salah satunya adalah jurusan fashion business di LaSalle College Indonesia.

Sementara itu, Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat sudah merevisi STEM menjadi STEAM dalam kurikulum mereka. ‘A’ di STEAM dalah singkatan dari Art. Art menjadi fundamental. Insinyur membangun, desainer membuat publik mengerti dan menambah nilai estetika.

“Ada yang bilang sekolah bisnis di masa depan adalah sekolah desain, tapi kita saja belum benar-benar mengembangkan kewirausahaan kreatif. Eropa, Inggris, dan AS bahkan sudah menambahkan sains ke dalam seni. Jadi ada kreativitas, kewirausahaan, dan keberlanjutan. Keberlanjutan adalah sains,” lanjut Asa.

Sekolah dan perguruan tinggi di Australia juga sudah menerapkan sains ke dalam seni. Alexandra mengambil jurusan fashion and textile (sustainable innovation) di RMIT.

Langkah awal menuju inovasi adalah pemikiran kritis. Pemikirian kritis datang dari literasi dan humaniora, termasuk kesadaraan akan sekitar. Hal ini tentunya bisa diajarkan. “Saya bertemu seorang guru di Pulau Weh, Aceh, yang menggunakan kearifan lokal untuk mengajarkan seni. Dia meminta murid-muridnya membuat patung dari kulit kerang yang ditemukan di pantai. Dia menggunakan kesempatan itu untuk mengajarkan perlindungan ekosistem,” kata Agah.

Langkah selanjutnya adalah kreativitas. Kreativitas datang dari kemampuan memecahkan masalah dan interpretasi yang terasah dari pemikiran kritis.

Universitas harus terus menerus mendorong mahasiswa untuk melakukan riset, bereksperimen dengan berbagai metode, mendokumentasikan proses, dan memahami kultur sebelum masuk ke tahap eksekusi. Alur kerja akan berbeda satu sama lain. Satu hal yang pasti, prosesnya tidak akan instan.

Baca bagian 1