Ikat: Teknik pewarnaan kain yang tidak pernah mati

Read in English

Image: The local woman in Maumere City, Sikka Regency selling various of traditional hand woven called tenun ikat Sikka by Bastian AS.

Image: The local woman in Maumere City, Sikka Regency selling various of traditional hand woven called tenun ikat Sikka by Bastian AS.

Tren datang dan pergi setiap beberapa jam dalam industri fesyen Indonesia yang bergerak dengan cepat dan berkembang dengan pesat. Namun, kain dan pakaian tradisional tampaknya tidak pernah benar-benar kehilangan daya tariknya, apalagi mereka memiliki target setia dari waktu ke waktu. Kali ini, TFR ingin membahas lebih dalam sebuah teknik yang telah menjadi teknik asli di dunia kerajinan kain tradisional Indonesia: ikat.

Sesuai dengan artinya, teknik ikat dilakukan dengan cara mengikat benang untuk mencegah pewarna meresap ke dalam benang serta untuk menciptakan pola dalam proses pewarnaan. Proses ini juga bisa diulang beberapa kali untuk menciptakan bentuk yang lebih beragam.

Salah satu ciri yang paling menonjol dari metode ini adalah penampilan pola yang kabur dalam hasil akhirnya. Penampilan kabur ini adalah hasil dari penataan benang-benang yang telah diwarnai. Penampilan kabur pada kain tenun ikat tergantung pada benangnya -apakah benang yang digunakan lebih halus atau tidak- serta pada keterampilan penenunnya.

Meskipun sekarang dikenal di dunia sebagai kata pinjaman bahasa Indonesia “ikat,” metode ini tidak hanya milik Indonesia. Teknik ini tersebar di kerajinan kain tradisional di seluruh dunia, mulai dari Asia hinga Afrika dan Amerika Latin.

Beberapa negara juga mengakui penggunaan teknik ini dalam tingkatan yang lebih rumit, yaitu ikat ganda, yang dibuat dengan menenun benang lungsin dan benang pakan yang sebelumnya sudah diikat dan dicelup ke dalam pewarna. Metode ini membutuhkan lebih banyak perhatian pada detail dan waktu pengerjaan yang lebih lama.

Di Indonesia, satu-satunya tempat kita bisa menemukan ikat ganda adalah Tenganan, Bali. Ikat ganda buatan Tenganan adalah salah satu kain tradisional yang paling langka di dunia, mengingat tingginya tingkat kesulitan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pembuatannya.

Sementara itu, ikat yang paling umum ditemukan di Indonesia adalah tenun ikat, sebuah metode yang populer di Nusa Tenggara Timur. Dalam metode ini, benang-benang disusun di dalam bingkai lalu diikat menjadi kumpulan benang. Kumpulan benang itu kemudian dilapisi lilin atau bahan penolak pewarna lainnya untuk menciptakan pola yang diinginkan sebelum diwarnai; teknik pewarnaan yang sama seperti yang digunakan dalam batik. Hingga kini, jejak pengaruh kebudayaan Dong Sun masih bisa ditemukan dalam pola geometri tenun ikat.

Saat ini, kebanyakan ikat yang kita temukan di berbagai merek busana kontemporer kemungkinan ditenun di sana. Ikat Nusa Tenggara Timur adalah kain yang paling populer untuk kolaborasi. Namun, banyak isu terkait ikat Indonesia yang membutuhkan perhatian luas. Isu-isu ini termasuk, tapi tidak terbatas pada, hak cipta desain dan keterlibatan pemerintah dalam melestarikan kain sebagai bagian dari warisan bangsa.

“Belakangan ini, terutama sejak tahun 2019, LSM dan publik terus mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan hak cipta pada semua tenun ikat Nusa Tenggara Timur,” Yetty van der Made-Haning, Kepala Centre of Culture and Development-Netherlands (CCD-NL), menjelaskan. “11 jenis ikat sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.”

Namun, menetapkan hak cipta pada kain warisan budaya seperti tenun ikat tidaklah mudah. Kurangnya kesadaran hukum di antara para perajin dan pengusaha merupakan salah satu rintangannya. “Bahkan, ada yang tidak tahu tentang Undang-Undang Hak Cipta Indonesia,” tambah Yetty.

Intervensi pemerintah sangat dianjurkan untuk meningkatkan kesadaran dan memberikan informasi mengenai langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mengakses perlindungan hukum ini. Isu ini berhubungan dengan isu lainnya, yaitu penggunaan kain warisan budaya dalam produk busana kontemporer.

Sudah banyak kita lihat merek busana terkenal dan merek busana kelas atas mempromosikan ikat dalam produk mereka. Mereka juga membuka diskusi mengenai pelestarian kain tradisional Indonesia. Akan tetapi, belum banyak diskusi yang membahas para perajin ikat.

Pertanyaan besarnya adalah: apakah para perajin ikat mendapat penghargaan yang lebih dari sekadar uang dari para perancang busana? Penghargaan tersebut bisa berupa pengakuan bagi para perajin atau dukungan dalam upaya penyelesaian berbagai isu seputar kain warisan budaya dan wanita pribumi.

CCD-NL melakukan segala upaya untuk mendukung komunitas perajin ikat di Nusa Tenggara Timur, namun, mereka tidak bisa ikut campur dalam pengambilan keputusan transaksi yang dibuat oleh perajin. “Kami tidak bisa mendikte mereka harus atau jangan menjual kain mereka kepada siapa. Dari sanalah mereka bisa mendapat pemasukan,” kata Yetty.

Bahkan hingga kini, CCD-NL masih mencoba mencari cara agar para perajin ikat bisa mendapatkan penghargaan yang sangat layak mereka dapatkan, dan CCD-NL berkomitmen untuk bekerja sama dengan masyarakat untuk mewujudkannya.