Melestarikan jejak studio desain

Read in English

Image: Unsplash

Image: Unsplash

Di era 90an, studio desain independen lokal tidak selazim sekarang. Kebanyakan perusahaan desain yang ada di Indonesia adalah cabang dari luar negeri. Salah satu studio desain lokal yang pertama kali muncul dan terkenal di Indonesia adalah LeBoYe. MakkiMakki menyusul pada 1991.

Di akhir tahun 90an, Nia Karlina dan lima temannya mendirikan DesignLab (@designlab_jakarta). Mereka bertemu saat kuliah di Amerika.

“Kalau dipikir lagi, kami cukup nekat. Kami memulai studio desain pada masa krisis moneter dan tidak punya anggaran sama sekali. Kami mengumpulkan semua portofolio dan mempresentasikannya ke teman-teman,” kata Nia.

16 tahun kemudian, para pendiri DesignLab lagi-lagi membuat keputusan yang lumayan berani. “Kalian mau lanjutin studio ini, gak?” kata pendiri kepada tiga desainer mereka. Ketiga desainer itu diberi waktu tiga hari untuk membuat keputusan. Mereka juga mendapat daftar tugas dan enam bulan masa transisi.

Ketika TFR mengunjungi DesignLab di akhir 2019, Ngah Muli Ong dan dua desainer lainnya sudah mengelola DesignLab selama lima tahun sejak penyerahan jabatan.

“Dua tahun pertama adalah tantangan terbesar. Sebagai karyawan, kami digaji tiap akhir bulan dan selesai urusan.” Keadaan berbalik 180 derajat ketika mereka berada di posisi atasan. “Setelah menggaji karyawan, kami harus meninjau ulang anggaran. Apakah penghasilan kita cukup? Apakah kita bisa melanjutkan operasional? Apa yang penting untuk pertumbuhan jangka panjang?”

Selain operasional, para atasan baru itu juga secara perlahan mengubah cara studio desain berhubungan dengan klien. “Dulu, desainer bekerja di bawah klien. Kami ingin menjauh dari metode itu dan menjadi mitra. Tidak ada yang di bawah atau di atas.”

Cara presentasi bisnis juga harus diubah apabila mereka ingin mengusung konsep tersebut; bukan lagi soal apa yang terlihat keren di layar, tapi tentang apa yang akan menarik konsumen. Untuk itu, desain yang ditawarkan harus didukung oleh data dan riset.

“Ketika klien datang dengan produk, kami akan melakukan riset tentang target pasar; kehidupan sosial mereka, musik dan film favorit, tempat mereka nongkrong, serta pakaian apa yang mereka suka. Lalu kami mengumpulkan visual berdasarkan informasi tersebut. Kami ingin menciptakan visual yang akan direspon target pasar. Dengan cara itu, meskipun klien tidak menyukai desain tersebut, kami bisa mendukung penawaran kami dengan hasil riset,” Muli menjelaskan.

“Argumennya bukan lagi tentang apa yang disukai dan tidak disukai klien. Klien tidak suka desain yang kami tawarkan tidak apa-apa, karena semua orang memiliki selera masing-masing. Selama target konsumen merespon dengan baik, klien akan senang.”

Metode tersebut mendapat tanggapan yang sangat positif dari klien. “Orang-orang selalu berasumsi bahwa desainer duduk di depan laptop dan membuat lingkaran atau kotak, tapi hal itu hanyalah bagian kecil yang kami lakukan.”

Klien dengan dana besar bisa menyediakan agensi riset untuk menopang studio desain. Jika tidak, Muli dan timnya akan menjalankan riset meskipun dalam skala kecil.

Satu hal yang tetap sama adalah jumlah anggota DesignLab. Tidak seperti agensi lain yang melebarkan operasional dan merekrut mitra, jumlah anggota DesignLab terbilang kecil. “Tim kami sempat besar di tahun 2014. Lucunya, kami malah lebih sering lembur ketika timnya besar ketimbang saat timnya kecil.”

Birokrasi tentunya lebih singkat karena tidak perlu meminta persetujuan dari banyak orang. “Desainer memiliki ruang untuk bereksplorasi dengan pekerjaan mereka. Tiap orang menyelesaikan bagiannya sendiri.”

Dibandingkan dengan era 90an, jumlah studio desain tumbuh dengan pesat. Ceritanya pun hampir mirip satu sama lain. Biasanya dimulai dengan kerja lepasan. Hasil dari proyek desain lepasan dikumpulkan sebagai portfolio, yang kemudian digunakan untuk presentasi.

Model bisnis desain studio termasuk bisnis dengan low barrier of entry atau tidak sulit untuk dilakukan. Artinya, biaya untuk memulai tidak sebesar bisnis yang membutuhkan barang, gudang, atau toko. Pada fase awal, yang desainer butuhkan adalah laptop dan mesin cetak. Banyak desainer sudah memiliki keduanya sejak kuliah.

Akan tetapi, sama halnya dengan bisnis-bisnis low barrier of entry, exit point juga besar. Dengan kata lain, usia di industri tidak bertahan lama. Kompetitor atau pendatang baru bisa menghancurkan bisnis karena sangat mudah bagi orang-orang untuk mendirikan bisnis tersebut. Dalam kasus studio desain, kesetiaan klien adalah halangannya.

Semakin banyak studio yang bermunculan, semakin banyak pilihan bagi klien untuk mencoba jasa desain studio. Klien bisa memilih kontrak jangka pendek lalu pindah ke studio lain. Sisi negatif lainnya adalah perusahaan bisa memanfaatkan sesi presentasi untuk kepentingan tersendiri. Contohnya, mengundang studio sebanyak mungkin untuk sesi presentasi sebagai perbandingan harga. Hal tersebut menurunkan nilai desain

“Kami pernah ke sesi presentasi yang antreannya panjang. Ada lagi perusahaan yang memberi kami daftar pekerjaan yang panjang dengan tenggat waku singkat. Kami seringkali menolak permintaan tersebut. Tentukan batasanmu,” ucap Muli.

Salah satu solusinya adalah memiliki gaya khas atau spesialisasi dalam satu kategori. Bagi DesignLab, desain kemasan adalah spesialisasi mereka. “Sebenarnya kami tidak pernah menyebut kemasan sebagai ciri khas kami. Namun, ketika kami melakukan penilaian tahunan, proyek kami didominasi oleh kemasan,” kata Nia.

Hal lain yang bisa mendorong karir ke depannya adalah cara menyikapi kompetisi. “Kami tidak bisa melakukan semuanya sendiri. Contohnya, ada klien yang memberi kita proyek papan informasi untuk mal. Kami mengontak agensi yang memang spesialisasi di wayfinding karena mereka tahu bahan apa yang cocok untuk papan informasi dan mereka punya arsitek dan desainer interior in-house.”

Mantra Muli adalah fokus saja pada kelebihan yang dimiliki daripada memikirkan cara untukmenjatuhkan kompetitor.