Dunia branding yang penuh warna

Read in English

color psychology (web)-08.png

Sebagian dari kita mungkin tidak tahu, namun warna kuning secara psikologis adalah warna yang paling bahagia. Banyak pendapat berbeda terkait penyebabnya, namun salah satu opini terkuat mengatakan bahwa warna kuning memberikan rasa bahagia karena asosiasinya dengan matahari. Walau nyatanya matahari lebih dekat ke warna putih, kuning merupakan warna yang telah kita asosiasikan dengan matahari, sebagaimana digambarkan dalam gambar, media, dan karya seni.

Matahari memberikan kehangatan dan merupakan sumber kehidupan di bumi. Matahari adalah energi yang begitu kuat sampai-sampai kita mungkin mengalami depresi bila tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup. Ada sebuah gangguan mood musiman bernama seasonal affective disorder (SAD) yang terjadi pada musim-musim tertentu di mana kita menikmati lebih sedikit sinar matahari. Karena itu, bukan hal yang mengagetkan bila sebuah warna yang begitu kuat diasosiasikan dengan sang surya dapat memberi pengaruh positif bagi suasana hati.

Terkait branding, warna kuning adalah warna yang menarik bagi jiwa kanak-kanak dalam diri kita, dan diasosiasikan dengan perasaan riang, orisinalitas, dan kehangatan. Maka, warna kuning sangat menguntungkan untuk merek-merek yang menawarkan barang atau jasa yang bersifat menyenangkan, cepat, dan mudah diakses.

Sebagaimana diilustrasikan dalam contoh di atas, warna memang memengaruhi fungsi psikologis manusia. “Bahkan, ada sebuah badan penelitian baru dalam ilmu psikologi yang mempelajari bagaimana warna dan berbagai atributnya – seperti rona dan kroma – memengaruhi persepsi dan perilaku kita, dan dikenal sebagai psikologi warna,” tutur Zafira Shabrina, dosen ilmu Psikologi Sosial di Universitas Gadjah Mada, kepada The Finery Report.

Zafira kemudian membahas teori ‘warna dalam konteks’ yang dicetuskan oleh Profesor Andrew Elliot dan Markus Maier, yang beranggapan bahwa pengaruh warna terhadap kita adalah berdasarkan pembelajaran sosial dan disposisi biologis.

“Selama hidup, kita telah dikondisikan untuk mengasosiasikan warna dengan makna, misalnya pink adalah feminin, putih adalah ketenangan, atau merah adalah semangat. Namun, tidak semua respon stimuli dan konstruksi warna berdasar pada pembelajaran sosial semata; sebagian berdasar pada kecenderungan biologis yang berkembang sebagai kebutuhan dari kebutuhan primitif untuk beradaptasi dan bertahan hidup,” lanjut Zafira.

Misalnya, ketakutan kita akan keadaan gelap gulita mungkin disebabkan oleh insting bertahan hidup yang diperkuat oleh proses pembelajaran sosial (contoh: cerita seram masa kecil, pemberitaan kriminal yang terjadi di lokasi yang gelap).

Dalam konteks branding dan periklanan, pemahaman dasar psikologi warna kini menjadi semakin penting. Penelitian-penelitian terdahulu menemukan bahwa pembeli “membuat penilaian bawah sadar tentang seseorang, lingkungan, atau produk dalam waktu 90 detik sejak pertama kali melihatnya, dan 62%-90% hasil penilaian tersebut berdasar pada warna saja.”

Karena itu, pilihan warna sebuah merek adalah suatu elemen fundamental yang menekankan dan memperkuat kepribadian dan kualitas produk atau jasa sebuah perusahaan. Walau perbedaan konteks dan kebudayaan juga berpengaruh, namun ada pemahaman umum tentang simbolisasi warna yang yang telah dikondisikan kepada kita dan diterima secara luas.

Sebagai contoh, warna merah mengkomunikasikan kekuatan, semangat, kegembiraan, dan dipercaya sebagai warna paling ‘menggiurkan.’ Itulah mengapa sangat sulit untuk menemukan kios makanan cepat saji yang tidak didominasi warna merah dalam strategi pemasarannya. Beberapa perusahaan makanan cepat saji yang didominasi warna merah di antaranya KFC, McDonald’s, Pizza Hut, dan Wendy’s. Warna merah juga dianggap efektif dalam mempercepat dan memperkuat reaksi kita, yang menyebabkan warna merah sering dipakai untuk menandakan potongan harga.

Di sisi lain, mengingat ‘kepribadian’ yang dimiliknya, warna merah merupakan warna yang ‘salah’ jika digunakan untuk produk atau jasa yang tidak memiliki karakteristik ‘merah.’ Misalnya, jarang sekali kita temukan perusahaan jasa gaun pengantin yang menggunakan warna merah dalam materi promosinya, karena kebanyakan ingin menciptakan citra sakral dan berkelas, bukan kuat dan menggiurkan.

Bila dilakukan dengan tepat, asosiasi warna dengan sebuah merek dapat menciptakan sebuah kolaborasi yang begitu ikonik hingga memungkinkan publik untuk mengenali sebuah merek hanya dari satu warna pantone. Beberapa merek seperti Barbie dan Cadbury telah mendaftarkan warna utama mereka sebagai bagian dari merek dagang. Namun, belum ada yang bisa melampaui Tiffany & Co.

Merek perhiasan mewah Tiffany & Co. tidak bisa lepas dari warna biru mudanya yang ikonik, dikenal luas sebagai ‘Tiffany Blue’ atau Pantone 1837 – yang juga merupakan tahun didirikannya perusahaan tersebut. Warna ‘Tiffany Blue’ telah menjadi duta dari merek tersebut, dan langsung terbayang kapan pun merek ini diperbincangkan.

Perusahaan ini menyatakan bahwa warna biru ini menyiratkan bukan hanya kegembiraan, namun juga rasa apresiasi atas kreasi legendaris yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Warna ini awalnya dipilih oleh pendiri Tiffany & Co., Charles Lewis Tiffany, sebagai sampul dari ‘Blue Book’ atau buku koleksi perhiasan Tiffany & Co. pada tahun 1845. Konon, warna ini dipilih karena tingginya popularitas batu turquoise yang banyak dipakai untuk perhiasan di abad ke-19.

Warna ini kemudian digunakan pula pada kantong belanja dan materi promosi Tiffany & Co. lainnya, termasuk boks perhiasan ‘Tiffany Blue Box’ yang ikonik; boks ini tidak dapat dibeli, melainkan diberikan kepada konsumen yang membeli produk Tiffany & Co. dan menjadi tanggung jawab mereka.

Pada tahun 2001, Tiffany & Co. menghubungi Pantone untuk menstandarkan warna ikoniknya dan menjadikannya aset legal tersendiri. Saat ini, warna tersebut telah dilindungi sebagai merek dagang Tiffany & Co., dan karenanya tidak tersedia untuk umum. Aturan merek dagang ini berlaku untuk produk dan situasi spesifik di mana mungkin terjadi kekeliruan terkait produk mereka, misalnya kantong belanja atau kotak perhiasan.

Tiffany & Co. telah memberikan contoh menarik tentang bagaimana sebuah warna dapat menimbulkan pengaruh emosional yang efeknya melampaui produk perusahaan itu sendiri. Contoh ini juga menunjukkan bahwa memilih warna yang tepat dapat membawa dampak jangka panjang yang positif bagi sebuah perusahaan.

Namun, perusahaan harus sensitif terhadap konteks budaya dari warna. Zafira mengingatkan, karena pengaruh warna sebagian dikembangkan melalui pembelajaran sosial, interpretasinya bersifat kontekstual dan tidak memiliki makna universal.

“Sebagai contoh, penelitian empiris yang dilakukan Elliot dan Maier menemukan bahwa warna merah menandakan bahaya kegagalan dalam konteks pencapaian. Tetapi, dalam konteks afiliasi gender, pria menilai seorang wanita lebih menarik ketika berpose di depan latar berwarna merah,” tambahnya. Contoh lain adalah warna ungu, yang secara umum dianggap sebagai warna mewah dan diasosiasikan dengan kekuasaan, kaum bangsawan, dan kearifan, namun secara peyoratif didaulat sebagai ‘warna janda’ di kalangan masyarakat Indonesia.

Tentunya, psikologi warna tidak hanya berlaku untuk merek-merek komersial. Sang Saka Merah Putih, misalnya, awalnya didesain berdasarkan nilai-nilai yang dilambangkan oleh warna merah dan putih; merah melambangkan keberanian, sementara putih melambangkan kesucian. Dua esensi tersebut pun menjadi nilai dasar negara kita, terutama di periode awal kemerdekaan.

Pada akhirnya, memahami prinsip-prinsip dasar psikologi warna merupakan hal yang esensial bagi sebuah bisnis. Perusahaan harus memperhatikan bagaimana warna yang mereka pilih memengaruhi citra perusahaan. Setiap warna memiliki pesan, emosi, dan arti tersendiri, dan semakin jauh sebuah perusahaan dapat memanfaatkan elemen desain ini dalam identitas mereka, semakin mereka dapat merasakan efek positifnya.